Pemilu kepala daerah semestinya menjadi ruang seleksi ketat bagi lahirnya para kepala daerah yang bersih, bermoral, serta berwibawa. Akan tetapi, pemilu kepala daerah sepertinya gagal menciptakan pemerintahan daerah yang ideal.
Media Indonesia dalam editorialnya hari ini (Sabtu,7/8) menyoroti kegagalan pilkada, karena pemilu kada seolah justru memberi ruang bagi tersangka terutama tersangka korupsi, untuk bertarung menjadi kepala daerah. Seperti tak tahu diri, para tersangka korupsi ini berlomba memanfaatkan celah itu dan beberapa di antaranya memenangi pemilu kada. Para tersangka korupsi yang terpilih ternyata mereka yang pada periode sebelumnya menduduki jabatan serupa alias incumbent.
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch, terdapat lima incumbent yang menjadi tersangka korupsi dan memenangi pemilu kada periode 2010-2015. Mereka adalah Bupati Rembang Mochamad Salim, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan Jamro H Jalil, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin.
Kita khawatir pemerintahan yang dipimpin tersangka korupsi kelak melahirkan kepemimpinan dan pemerintahan yang koruptif pula. Apalagi, sebagaimana dilansir ICW, keuangan daerah menjadi sektor paling rawan dikorupsi.
Kita sesungguhnya sudah memiliki Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur persyaratan pencalonan kepala daerah. Namun, di situ tidak ada secuil kata pun yang menyebut tersangka dilarang menjadi calon kepala daerah.
Dari sisi hukum, kita memang menganut asas praduga tak bersalah. Seseorang harus dihormati hak-hak politiknya hingga dia dinyatakan bersalah oleh keputusan yang berkekuatan hukum tetap. Itu artinya seorang tersangka tetap berpeluang menjadi kepala daerah kecuali dia menjadi terdakwa dan terpidana.
Celah hukum inilah yang dimanfaatkan para tersangka untuk mencalonkan diri dalam pemilu kada. Kita khawatir manakala sudah menjabat kelak, dengan kekuasaan mereka, para tersangka berupaya mengangkangi hukum hingga bebas dari segala sangkaan dan tuduhan.
Dari sisi etika, tidaklah elok tersangka memimpin sebuah pemerintahan daerah. Apalagi jika tersangka yang terpilih menjadi kepala daerah kelak meningkat statusnya menjadi terdakwa dan terpidana, tentu roda pemerintahan daerah bakal terganggu.
Oleh karena itu, kita perlu menciptakan mekanisme untuk mencegah para tersangka menjadi kepala daerah. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pernah melontarkan gagasan akan memperketat persyaratan menjadi kepala daerah melalui undang-undang. Kita berharap undang-undang yang baru kelak mengatur bahwa tersangka haram hukumnya melamar menjadi kepala daerah.
Seraya menunggu proses revisi undang-undang, kita mendesak partai politik tidak mengusung tersangka sebagai kandidat di pemilu kada. Kita juga berharap rakyat tidak mencoblos kandidat yang menjadi tersangka. Kita pun mendesak para tersangka untuk punya sejumput rasa malu dan mengerem syahwat berkuasa hingga mereka dinyatakan bersih dari segala sangkaan dan tuduhan oleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. (IRIB/Media Indonesia/PH)
Recent Comments