FILM

Motif Dibalik Film Prince of Persia

prince of persia

Video game tiga dimensi Prince of Persia diproduksi antara tahun 2002 hingga 2005. Pada tahun 2007, perusahaan Walt Disney mulai membuat film yang diadaptasi dari game tersebut. Prince of Persia: The Sands of Time mulai diputar di seluruh dunia pada permulaan Juni tahun ini. Meskipun diputar di berbagai bioskop terkemuka di dunia, namun film ini tidak mendapat sambutan meriah dari para penonton. Lalu, kenapa film yang diadaptasi dari video game ini tidak laris di pasaran? Mari kita simak bersama cerita dalam film ini.

Alamut, sebuah kota yang indah dipimpin oleh seorang ratu bernama Tahmina. Putra Mahkota Persia menyerang kota ini dan menguasainya. Para penguasa Alamut menyembunyikan sebuah belati yang dipercaya bisa memutar waktu kembali ke masa lalu dan mengubah nasib dunia. Bahkan bisa menghancurkan dunia.

Belati pusaka ini berhasil direbut oleh anak angkat Raja Persia, Dastan. Lewat sebuah konspirasi, Dastan melarikan diri dan Tahmina mengejarnya untuk mengambil belati itu. Di pertengahan film, dikisahkan paman Dastan hendak menghancurkan peradaban dunia dengan menggunakan belati itu. Di bagian akhir cerita ini, Dastan bertekad menghalangi kehancuran dunia dengan bantuan belati itu dan mengubah keadaan.

Film Prince of Persia adalah upaya terbaru Hollywood di arena fantasi untuk menyelesaikan kebuntuan politik akibat keserakahan Gedung Putih. Dalam film ini muncul sebuah masalah sederhana bahwa nafsu orang yang haus kekuasaan tidak boleh mengubah sistem. Di mata produser film ini, agresi negara adidaya terhadap negara kecil untuk menghancurkan senjatanya merupakan hal yang lumrah dan tidak bisa disebut sebagai invasi apalagi pendudukan.

Penulis skenario film Prince of Persia, mengklaim filmnya sebagai hiburan semata. Namun film ini menyajikan sejumlah masalah seperti keberadaan senjata pembunuh massal di Timur Tengah dan Irak.

Richard Nelson Corliss, kritikus film menilai film ini berkaitan dengan kondisi politik dunia saat ini. Menurut penulis majalah Time ini, “Film Prince of Persia sejatinya adalah film politik bagi orang yang menentang agresi militer ke Irak. Dalam film ini seorang raja menyerang negara kecil atas informasi yang diperoleh dari saudaranya. Dilaporkan, negara kecil itu menyimpan senjata pemusnah massal.”

Salah satu masalah film Prince of Persia adalah kacamata permukaan yang dipergunakannya. Bahkan menyoroti perang Irak pun dengan kacamata dangkal. Tampaknya, film ini hendak menebarkan persaudaraan dan pesan moral. Namun, tetap saja para tokoh utamanya saling bunuh untuk melanggengkan kekuasaan.

Ada keganjilan berupa perubahan dari keburukan menjadi kebaikan secara serentak dan tiba-tiba, serta tanpa permulaan terlebih dahulu. Bahkan dalam film ini prinsip pemikiran tidak memiliki peran signifikan. Karakteristik film ini menyebabkan audiens menilai rating film ini berada di bawah edisi video game yang telah meluncur ke pasar lebih dahulu.

Terkait hal ini, David Cox, kolomnis koran The Guardian menulis, film Prince of Persia menilai film ini tampak bagus dari luar, namun secara keseluruhan film ini tidak bernilai sama sekali. Film ini diisi tokoh-tokoh fantasi dan dialog anak-anak. Dalam film ini, kita tidak tidak merasakan perjuangan berat para tokohnya. Dastan, tokoh utama dalam film ini dengan mudah menaiki benteng dan mengalahkan musuhnya. Kemudian jatuh cinta dan menguasai belati pusaka. Ini semua kelebihan sebuah game, bukan film. Sejatinya film Prince of Persia tidak demikian.

Nama tokoh dan peristiwa dalam film ini dibuat mirip dengan peristiwa dalam sejarah Persia. Produser film menulis film ini berdasarkan biografi Hassan Sabbah dari sekte Ismailiyah, namun detailnya tokoh dan peristiwanya mengalami perubahan. Sebagaimana peristiwa ini tidak begitu jelas dijelaskan dalam sejarah. Ya, tidak lebih dari sebuah mitos belaka. Meskipun nama yang dipergunakan adalah nama-nama Persia, namun tidak ada kaitan sama sekali dengan kisah Persia, bahkan lebih dekat dengan kisah-kisah Arab dan India.

Lokasi shooting film Prince of Persia dilakukan di Maroko. Artefak kehidupan Arab dan Afrika begitu terasa dalam film ini. Hal ini kental terasa dalam aransemen musik dan kostum pakaian hingga para pemainnya. Poin ini memicu protes para penonton film. Penulis majalah mingguan Boston Globe menulis, “Amat disayangkan, film ini tidak menggunakan seorang pemain Iran satupun. Bahkan tidak memanfaatkan orang Iran sebagai penasehatnya. Padahal banyak orang Iran yang bisa memperbaiki kekeliruan fatal produksi film ini.”

Hollywood selama bertahun-tahun memproduksi film mengenai orientalisme dan Iran. Namun dari kebanyakan film tersebut, hanya sedikit yang memotret realitas secara akurat dan lebih dekat dengan situasi dan kondisi Timur dan Iran. Bisa dikatakan bahwa tujuan pertama dan utama produksi film Hollywood adalah motif politik.

Motif itu pula yang melatarbelakangi munculnya film tendensius yang menyudutkan Iran seperti ‘Not Without My Daughter’ dan ‘The Stoning of Soraya’.
Dalam film tersebut, Hollywood merupakan bagian dari militer Amerika yang menyerang budaya Iran melalui film.

Merusak citra Iran melalui penyelewengan fakta budaya dan sejarah serta agama merupakan tujuan utama produser film Hollywood. Tentu saja, semua penonton yang sadar dan realistis mengendus tujuan busuk dibalik film ini. Dalam berbagai film yang diproduksi hollywood, Iran ditampilkan sebagai negara yang kering dan rakyat yang tidak berbudaya. Tentu saja, film tersebut tidak mengggambarkan realitas Iran saat ini maupun masa lalu.

Jarak yang jauh antara cerita film dan realitas sebenarnya dengan sejarah kehidupan rakyat Iran menunjukkan bahwa produser film dengan sadar berupaya menggambarkan wajah Iran yang buruk kepada penontonnya.

Sejatinya, film ini dibuat berdasarkan sebuah video game terlaris. Tentu saja, tidak bisa diharapkan adanya cerita faktual dari realitas sejarah. Meski demikian, prinsip fantasi dan imaji dalam film inipun tidak begitu baik. Struktur fantasi juga harus berada dalam koridor logis, bukan sebuah peristiwa dan tempat yang mencampur adukan antara kondisi saat ini dan masa lalu.

Tampaknya masalah utama film Prince of Persia bukan hanya ketidakakuratan cerita sejarahnya. Selain itu film ini lemah karena berupaya menjustifikasi kinerja pemerintah Amerika. Bahkan, film ini turun derajatnya menjadi sebuah propaganda politik rezim Gedung Putih yang haus kuasa.

Film Prince of Persia berupaya menampilkan agresi Amerika dan sekutunya ke Irak. Tidak hanya itu, film ini hendak memulihkan wajah beringas Gedung Putih selama tujuh tahun menduduki Irak. Produser Film Prince of Persia menjustifikasi pendudukan tujuh tahun atas Irak lewat sebuah informasi keliru. Hollywood meramu target itu dalam bentuk sebuah berita, atau sebuah film serius seperti Green Zone, maupun film fantasi seperti Prince of Persia. Namun hasilnya tepat sama. Film itu tidak bisa memalingkan masyarakat dunia dari realitas kejahatan AS dan sekutunya di Irak.

Categories: FILM | Leave a comment

Perang Irak di Sinema Hollywood

The Hurt Locker

Sudah tujuh tahun berlalu sejak Irak pertama kali diduduki oleh pasukan asing pimpinan Amerika Serikat (AS). Maret 2003, dari darat dan udara, Irak menjadi bulan-bulanan gempuran mesin-mesin perang AS, Inggris dan sekutu-sekutunya. Perang berujung pada jatuhnya kekuasaan Saddam Hossein dan Irakpun diduduki. Invasi Irak terjadi berkat adanya dukungan media besar-besaran yang mengesankan bahwa serangan militer ini punya misi kemanusiaan demi menghadiahkan kebebasan dan demokrasi kepada rakyat Irak. Namun, tak berapa lama kemudian fakta yang sebenarnya terkuak. Fakta itu meragukan kebenaran klaim AS dalam menggelar serangan militer dan menyoal keberingasan dan kejahatan tentara AS dalam memperlakukan rakyat Irak. Upaya AS untuk menjustifikasi kehadiran militernya dan melukiskan wajah yang ramah, tidak lagi dipercaya oleh masyarakat dunia. Dengan adanya fakta yang sudah terkuak ini, televisi dan sinema tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk menjustifikasi perang dan pendudukan.

Para analis meyakini bahwa perang Irak telah menjadi topik garapan insan-insan Hollywood lebih cepat dari yang diperkirakan. Namun gaung itu tidak berlanjut seperti yang diharapkan. Yang menarik, Hollywood yang biasanya memproduksi film-film yang sejalan dengan kebijakan Gedung Putih dan Pentagon justeru menggarap film-film dalam jumlah besar yang mengkritik bahkan mengecam perang Irak. Pertanyaan yang segera muncul adalah, apakah fenomena ini pertanda bangkitnya Hollywood di barisan penentang kebijakan AS atau mungkinkah kebijakan AS yang sudah berubah dan Hollywood hanya meladeni kebijakan yang baru? Memang ada sebagian kalangan yang meyakini bahwa produksi film-film anti perang di Hollywood tak lebih dari sandiwara semata.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk memoles kembali wajah AS yang sudah buruk di dunia adalah pemberian hadiah utama Piala Oscar untuk film The Hurt Locker karya Kathryn Bigelow. Film ini sepintas menggambarkan bahwa perang telah menghancurkan kehidupan. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa sebenarnya misi di balik pembuatan film-film seperti ini?

Dengan mencermati film-film ini akan nampak bahwa kesemua film tersebut melayani kebijakan pemerintah AS dari tahap pembuatan hingga tayangnya. Misalnya, dalam film The Hurt Locker dialog dan adegan-adegan mematikannya sangat sesuai dengan kebijakan pemerintah AS. Film ini mengklaim bahwa tentara AS datang untuk membebaskan rakyat Irak, dan sementara orang-orang Irak adalah teroris yang tak punya rasa kemanusiaan. Di film ini dikesankan bahwa tentara AS selalu meraih kemenangan di semua medan pertempuran meski ada pula serdadu AS yang tewas di dalamnya.

Film The Hurt Locker menggambarkan kerelaan para prajurit AS untuk meninggalkan keluarga dan kehangatannya demi menghadiahkan kebebasan untuk rakyat Irak. Film ini juga tak lupa mengesankan keakraban yang dijalin tentara AS dengan anak-anak Irak. Sebaliknya, The Hurt Locker juga menayangkan wajah pria-pria Irak yang diam membisu menyaksikan tewasnya tentara AS, perempuan-perempuan Irak dengan wajah garang dan anak-anak yang berlari-lari mengejar tentara AS sambil melempar batu.

Lakon utama film ini adalah William James yang kisahnya tak jauh berbeda dengan film pria-pria berbadan kekar yang sering kita jumpai di era Presiden Ronald Reagan. Sama seperti Rambo dan film-film yang dibintangi Arnold Schwarzenegger semisal Commando, William James dalam film The Hurt Locker juga memainkan peran pahlawan yang menyelamatkan dunia. Meski tidak mengibarkan bendera AS, lakon film ini mengenakan pakaian militer yang dihiasi bendera AS. Film ini di mata masyarakat umum tidak mendapat tempat yang semestinya karena tidak menunjukkan keberanian sedikitpun untuk menentang kebijakan perang. Bahkan Anda tak akan menemukan gambar demonstrasi menentang perang dalam film ini.

Film The Messenger buatan Oren Moverman adalah satu lagi film Hollywood yang menonjol tentang perang Irak. Film ini menyoroti isu paling hangat di tengah masyarakat AS yaitu tentang dampak perang terhadap keluarga AS. Film ini menceritakan tentang Sersan Will Montgomery yang baru saja kembali ke AS setelah bertugas di Irak. Montgomery tidak bisa lagi diterjunkan ke medan pertempuran karena menderita luka yang serius. Ia menjadi orang yang dipercaya menyampaikan berita kematian serdadu AS kepada keluarga masing-masing. Bertemu dengan keluarga serdadu AS yang tewas di Irak mengguncang mental dan kejiwaan Montgomery.

Film The Messenger berkutat pada dampak perang terhadap keluarga tentara AS, tanpa menyinggung masalah perang itu sendiri. Sepanjang film, penonton disuguhi suara-suara ledakan yang mengguncang kejiwaannya, ledakan yang serpihannya mengena dan bersarang di jantung mereka yang berada ribuan mil dari Irak.

The Messenger mengikuti gaya fim-film klise di Amerika yang memandang serdadu AS tak lepas dari dua kategori, pahlawan bangsa atau orang gila dan cacat yang tak lagi mampu memanggul senjata. Sebagian besar film Amerika bertemakan perang dibuat untuk meningkatkan mentalitas dan patriotisme di kalangan tentara AS. Memang tidak sedikit film yang mengangkat masalah perang Vietnam yang mengesankan para serdadu AS sebagai orang-orang sakit jiwa yang menggunakan senjata api layaknya alat permainan. Mereka hanya memikirkan sisi negatif dari perang. Film-film model ini dibuat untuk menunjukkan anggapan umum di tengah masyarakat Amerika. Tujuannya adalah untuk mengobati luka hati akibat kekalahan di Vietnam.

Satu sisi menarik dari film-film tadi adalah bahwa para produser film ini tidak menyalahkan tentara AS yang membunuh warga sipil di negara yang diserang. Yang mereka permasalahkan justeru kelabilan mental tentara AS yang berdampak buruk pada keluarga mereka. Para pembuat film-film ini berusaha meyakinkan kepada penontonnya bahwa hak asasi manusia hanya milik AS, dan yang pantas dihibur karena haknya terlanggar adalah warga AS. Dalam film The Messenger, keluarga tentara AS yang tewas di Irak layak menerima ucapan belasungkawa, padahal fakta yang sebenarnya menyebutkan bahwa korban asli dari perang ini adalah warga Irak.

Dalam beberapa tahun terakhir sekitar 30 film telah digarap di Hollywood yang mengangkat tema perang Irak. Film Green Zone buatan Paul Greengrass mungkin agak berbeda. Film ini mengangkat masalah yang dipertanyakan oleh kebanyakan masyarakat dunia tentang keberadaan senjata pemusnah massal yang dijadikan alasan oleh AS untuk menyerang Irak. Film ini menceritakan tentang seorang perwira intelijen AS di Baghdad yang berhasil memperoleh informasi akurat tentang kebohongan klaim pemerintah AS soal keberadaan senjata pemusnah massal di Irak.

Perwira yang bernama Miller ini merunut benang merah yang ia dapatkan tentang program senjata pemusnah massal di Irak, sampai ia berhasil menemui salah seorang perwira tinggi Irak berpangkat jenderal. Dari jenderal inilah ia memperoleh data yang menyebutkan bahwa program senjata pemusnah massal Irak telah dihentikan pada tahun 1991. Ditambahkannya bahwa AS punya data yang jelas tentang penghentian program itu. Dengan data-data yang ia dapat, Miller memprotes kebohongan yang disebarluaskan oleh pemerintah AS. Tindakan itulah yang membuat ia harus berseteru dengan rekan-rekannya sendiri. Meski sudah menyingkap hakikat, tapi tak ada yang bisa dilakukannya.

Yang menarik, meskipun film Green Zone mengangkat kisah seorang perwira AS yang berani, jujur dan obyektif, namun Miller tetap mengkhawatirkan memburuknya citra AS di mata masyarakat dunia. Dalam satu kesempatan ia mengatakan, “Alasan menyulut perang adalah masalah penting. Apa yang akan terjadi jika kita memerlukan lagi dukungan dan kepercayaan rakyat?” Artinya, bagi orang-orang seperti Miller, fakta dan hakikat atau pembelaan kepada para korban perang bukanlah hal yang penting. Yang paling prioritas adalah memupuk kepercayaan umum.

Sumber : disini

Categories: FILM | Leave a comment

Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta

Kisah cinta adalah tema yang abadi. Meskipun sama-sama berbicara masalah dua hati, selalu ada begitu banyak hal yang bisa diceritakan di dalamnya. Ya, setiap zaman, masyarakat dan kebudayaan selalu memiliki aturan main yang berbeda. Akibatnya, persinggungan antarkebudayaan atau bahkan agama tak jarang menimbulkan permasalahan di dalam kisah percintaan.

Ini juga terjadi pada kisah cinta Rosid, seorang pemuda Muslim keturunan Arab di tanah Betawi, dan Delia, gadis Kristen berparas jelita. Keduanya jelas saling mencintai. Tapi, perbedaan di antara keduanya sudah pasti akan menghalangi niat mereka untuk menyatukan diri dalam pernikahan. Namun, seperti kata pepatah, cinta akan selalu menemukan jalannya. Hanya saja, bagaimana cinta mereka bisa menemukan jalan berbuah kebahagiaan?

Rosid dan Delia tak sekadar menuturkan masalah percintaan. Lebih dari itu, Rosid dan Delia juga menyinggung pemahaman keberagamaan yang lebih luas dan mencerahkan. Film yang diangkat dari novel Da Peci Code memberikan sebuah wawasan baru mengenai cinta dan perbedaan di dalamnya.

Rosid adalah seorang pemuda Muslim yang idealis dan terobsesi menjadi seniman besar seperti WS Rendra. Gaya seniman Rosid dengan rambut kribonya membuat Mansur, sang ayah, gusar karena tidak mungkin bagi Rosid untuk memakai peci.

Padahal peci-bagi Mansur-adalah lambang kesalehan dan kesetiaan kepada tradisi keagamaan. Bagi Rosid, bukan sekadar kribonya yang membuatnya tidak mungkin memakai peci, melainkan karena Rosid tidak ingin keberagamaannya dicampur-baur oleh sekadar tradisi leluhur yang disakralkan.

Ternyata tongkrongan seniman Rosid membawa berkah juga. Delia, seorang gadis Katolik berwajah manis, kepincut pada sosok Rosid. Tentu saja ini hubungan yang nekad . Rosid terlahir dari keluarga keturunan Arab-Muslim yang masih taat memegang teguh tradisi leluhurnya. Sementara Delia terlahir dari keluarga Manado-Katolik yang juga sangat taat beribadah.

Rosid dan Delia adalah dua anak muda yang rasional dalam menyikapi perbedaan. Tapi orang tua mana yang rela dengan kisah cinta mereka. Maka mereka pun mencari cara untuk memisahkan Rosid dan Delia. Jurus Frans dan Martha, orang tua Delia, adalah dengan mencoba mengirim Delia sekolah ke Amerika. Berbeda lagi dengan Mansur.

Muzna, ibunda yang sangat dihormati Rosid, pun turun tangan. Sang Ibu dengan bantuan Rodiah, adik suaminya, menjodohkan Rosid dengan Nabila, gadis cantik berjilbab yang ternyata mengidolakan Rosid, sang penyair.

Memang, cinta Rosid dan Delia begitu kuat, tapi sekuat itu juga tantangannya. Selain perbedaan agama ternyata ada beban psikologis yang harus dihadapi jika mereka meneruskan hubungan itu hingga ke ikatan pernikahan.

Meski akhirnya kedua orangtua mereka memberi kebebasan memilih, Rosid dan Delia justru memutuskan tidak melanjutkan hubungan mereka karena sadar hal itu akan melukai orang-orang yang mereka cintai. Rosid dan Delia memilih hanya bersahabat.

Mizan Makin Cemerlang

Mizan Production makin lihai saja dalam menelurkan film hiburan yang berpeluang laris di pasar. Setelah sukses dengan Laskar Pelangi dan Emak Ingin Naik Haji, kini Mizan menghidangkan “sup ayam hangat” baru untuk penonton Indonesia dengan menu gado-gado dari puisi W.S. Rendra, komedi peci, dan cinta beda agama dalam film Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta. Film ini akan hadir di bioskop pada awal bulan depan.

Film yang semula diberi judul Komidi Putar ini diangkat dari Da Peci Code serta Balada Rosid dan Delia, dua novel karya Ben Sohib. Sutradara Benni Setiawan kemudian mengadaptasinya ke layar lebar dengan membongkar naskahnya di sana-sini dan memasukkan berbagai unsur baru. “Kesamaan cerita dengan novelnya memang hanya 40 persen,” kata Benni.

Film ini sebenarnya mengangkat masalah cinta beda agama, tema kontroversial yang sudah pernah muncul di film lain, seperti Cin[t]a karya sutradara muda Sammaria Simanjuntak pada 2009. Film drama independen bikinan mahasiswa Institut Teknologi Bandung itu mengangkat kisah cinta antara Cina, mahasiswa baru keturunan Tionghoa, dan Annisa, mahasiswi muslim.

Film Tiga Hati juga mempertemukan dua hati yang berbeda keyakinan: Rosid (Reza Rahadian), pemuda muslim, dan Delia (Laura Basuki), gadis Manado penganut Katolik yang taat. Sepasang kekasih ini harus menempuh jalan berliku untuk memperjuangkan cinta mereka. Batu sandungan bukan hanya datang dari keluarga masing-masing, tapi juga kehadiran seorang gadis cantik berjilbab.
Rosid adalah pemuda Betawi nyentrik keturunan Arab yang digambarkan sebagai seniman kribo yang idealis dan terinspirasi menjadi penyair besar sekaliber W.S. Rendra. Gayanya yang cuek dan dandanannya yang tak Islami membuat sang ayah, Manysur (Rasyid Karim), selalu naik pitam.

Persoalannya sederhana: tak ada peci yang muat untuk rambut kribo Rosid. Padahal, bagi Mansyur, peci adalah lambang kesalehan dan kesetiaan kepada Islam. Mansyur memaksa Rosid selalu berpeci ke mana-mana, karena begitulah seharusnya adat seorang muslim Betawi.

Soal peci belum beres, Rosid malah bikin masalah baru dengan memacari Delia. Kedua orang tua Rosid dan Delia pun putar otak untuk memutus hubungan nekat itu. Orang tua Rosid, Mansyur dan Muzna (Henidar Amroe), menjodohkan si kribo dengan Nabila (Arumi Bachsin), muslimah cantik yang juga mengidolakan puisi-puisi Rosid. Adapun Frans (Robby Tumewu) dan Martha (Ira Wibowo), orang tua Delia, berupaya mengirim anak semata wayangnya bersekolah ke Amerika Serikat.
Pada saat ego orang tua bertakhta, Rosid dan Delia tak mau menyerah. Singkat kata, beberapa peristiwa terjadi, yang pelan-pelan meluluhkan hati orang tua mereka dan membuat mereka mencoba berdamai dengan anak masing-masing. Nah, ketika ego sudah luluh, eh, malah hati Rosid dan Delia yang bimbang. “Apa artinya jika cinta kita bahagia tapi banyak orang yang kita sayangi menangis,” ucap Delia bersimbah air mata.

Mengenang WS Rendra

Ada banyak ide tertuang dalam film ini. Setelah Benni mengantongi ide dari dua novel tersebut, Mizan pun berkeinginan mengenang W.S. Rendra melalui media ini. “Aslinya, Rosid adalah wartawan. Tapi, dalam proses produksi, Mizan ingin ada pesan mengenang Rendra,” kata Benni. Maka, jadilah Rosid si penyair kribo. Porsi syair-syair Rendra dalam film ini pun terlihat dikebut di bagian penutup film, sehingga terkesan dipaksakan.

Permainan pasangan Reza Rahadian-Laura Basuki kali ini tampil cukup baik. Kemunculan Laura sebagai pendatang baru yang dipercaya memerankan tokoh utama menandakan peningkatan perannya, yang selama ini mentok pada jabatan pemeran pembantu. Adapun Reza, aktor yang menerima penghargaan Pemeran Pendukung Pria Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2009 lewat Perempuan Berkalung Sorban, malah berakting standar saja.

Setelah dua debut filmnya yang konsisten dengan genre drama romantis, yakni Bukan Cinta Biasa dan Cinta Dua Hati, Benni Setiawan masih percaya diri memilih genre serupa untuk film terbarunya yang mengulik persoalan cinta beda agama. “Genre ini bisa hidup dan disukai semua orang dan di era kapan pun. Saya akan terus konsisten dengan genre ini,” katanya.

Namun, berbeda dari film sebelumnya, tema film terbarunya ini kontroversial tapi, “Saya mengambil jalan aman untuk akhir cerita,” katanya. Menurut Benni, keputusan ini dilakukan agar sesuai dengan jalan cerita di novel, sehingga jalan tengah pun diambil Rosid dan Delia. Sebagian penonton boleh jadi akan kecewa karena penutupnya jadi kurang gereget.

Syuting film ini memakan waktu empat bulan dan dilakukan di Bogor. “Kendalanya hanya cuaca yang tak menentu. Saat itu di Bogor sering hujan,” katanya. Harapan Benni, film ini mampu menarik perhatian penonton tak hanya yang beragama muslim, tapi lebih luas lagi. (Mizan/Tempointeraktif/IRIB/AR)

Categories: FILM | Leave a comment

Blog at WordPress.com.