Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI membuka pengumuman bagi peserta tender pembangunan fisik Gedung DPR yang baru. Bangunan senilai lebih dari Rp 1 triliun itu diharapkan dapat mulai dikerjakan Oktober tahun ini.
Wakil Ketua BURT, Pius Lustrilanang, mengatakan, dewan benar-benar membutuhkan gedung baru. Kendati penolakan masyarakat masih kencang menerpa pembangunan gedung baru, Pius berujar gedung baru merupakan rekomendasi dari tim peningkatan kinerja anggota dewan yang mengatakan setiap anggota membutuhkan tambahan staf ahli sehingga membutuhkan gedung baru untuk menampungnya.
Ketua BURT yang juga Ketua DPR RI, Marzuki Alie, menegaskan pula pentingnya pembangunan gedung baru. Mau tidak mau, suka tidak suka, DPR dikatakannya harus tetap menjalankan pembangunan. Meski Marzuki mengaku DPR tetap terbuka terhadap kritik dari masyarakat.
Sementara itu, survei yang dilakukan Charta Politika menunjukkan bahwa mayoritas publik menganggap DPR tidak memerlukan kantor yang lebih bagus untuk meningkatkan kinerjanya. Responden di tujuh kota besar menyatakan ketidaksetujuan atas pembangunan gedung baru yang bermewah-mewahan.
Direktur Riset Charta Politika, Yunarto Wijaya, memaparkan sebanyak 80,5 persen responden menyatakan tidak setuju ketika ditanya lewat telepon apakah anggota DPR memerlukan kantor yang lebih bagus untuk meningkatkan kinerja. ”Yang setuju, 14,5 persen,” kata Yunarto, Rabu (1/9), dalam paparan ‘Evaluasi Persepsi Publik dan Media Massa Terhadap DPR 2009-2014’ oleh lembaga riset politik Charta Politika.
Mayoritas responden juga menanggapi secara negatif wacana atau kebijakan mengenai kenaikan gaji dan studi banding keluar negeri. Survei yang sama menunjukkan pula kalau kendati anggota DPR periode ini diakui lebih kritis (46,9 persen) dari era sebelumnya, mereka juga dinilai publik (63,7 persen) tidak lebih baik dari anggota periode sebelumnya.
Bandara tanpa Radar
Kebobrokan Bandara Soekarno-Hatta terkuak satu demi satu. Belum sebulan berselang sejak listrik mati yang mengacaukan seluruh jadwal penerbangan, bandara yang menyandang predikat internasional itu membuat malu lagi. Inilah malu yang mengerikan: radar pengatur lalu lintas pesawat tidak berfungsi pada hari Ahad (29/8).
Adalah benar bahwa radar tidak berfungsi cuma selama 30 menit. Namun, gangguan itu tidak bisa dipandang sebelah mata karena menyangkut keselamatan penerbangan.
Kegagalan fungsi radar itu justru terjadi saat frekuensi penerbangan sedang tinggi. Tiba-tiba saja radar utama mati sehingga sembilan pesawat terpaksa berputar-putar di udara. Setiap pesawat rata-rata tertahan di udara 5-10 menit. Tidak hanya itu, sekitar 15 pesawat tertunda lepas landas.
Radar yang sudah berusia 15 tahun itu bukan pertama kali ini rusak.
Tahun-tahun sebelumnya juga mengalami kerusakan. Setiap kali ada kerusakan selalu muncul keinginan menggantikan dengan radar baru. Namun, setelah itu, keinginan tersebut hilang ditelan bunyi gemuruh suara mesin pesawat.
Lebih ironis lagi, setiap kebobrokan mencuat, saban kali itu pula Kementerian Perhubungan mengancam untuk menegur PT Angkasa Pura II selaku pengelola bandara. Tapi siapa pun tahu, ancaman saja tidak cukup, harus ada tindakan nyata yang hasilnya bisa dirasakan.
Begitu pula Kementerian Badan Usaha Milik Negara yang tiba-tiba berniat membahas opsi pengelolaan Bandara Soekarno-Hatta dengan menggandeng pihak asing. Itu berarti pemerintah angkat tangan membenahi bandara. Bayangkan jika setiap ada persoalan langsung menawarkannya kepada asing untuk menyelesaikannya. Jangan-jangan negara ini, yang juga banyak persoalan, pun ditawarkan kepada asing.
Tragedi radar itu memperlihatkan tabiat buruk pengelola bandara dalam merawat seluruh infrastruktur yang ada. Mestinya secara periodik dilakukan audit menyeluruh terhadap semua sistem keamanan, keselamatan, dan pelayanan penerbangan.
Tanpa harus repot-repot menunggu hasil audit, jujur harus dikatakan bahwa pengelola Bandara Soekarno-Hatta tidak profesional. Sikap tidak profesional itu semakin tampak bila melihat calo dan preman masih bebas berkeliaran.
Bila pengelolaan bandara bertaraf internasional saja tidak becus, bisa dibayangkan bagaimana bandara tingkat kabupaten?
Karut-marut pengelolaan bandara yang menahun itu mencerminkan kebiasaan memelihara persoalan sekaligus memperlihatkan rendahnya penghormatan atas martabat manusia. Sikap itu pula yang bisa dilihat dari bagaimana amburadulnya pengelolaan fasilitas angkutan umum di negeri ini. Manusia hanya dianggap sebagai benda sehingga boleh berjejal-jejal dalam angkutan umum.
Seandainya bisa bicara, mungkin bapak proklamasi Soekarno dan Hatta malu karena nama mereka dipakai untuk bandara yang pengelolaannya amburadul. (IRIB/Media Indonesia/Republika/RM)
Recent Comments